Menurut Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, tanggal 28 Desember 2007 adalah tenggat akhir bagi stasiun televisi swasta – yang sering disebut sebagai TV nasional – untuk melaksanakan sistem siaran berjaringan (SSB) sebagaimana diatur dalam pasal 60 UU No 32 tahun 2002. Ini adalah batas waktu 5 tahun; 3 tahun masa sosialisasi dan 2 tahun persiapan kerjasama – sejak RUU Penyiaran diundangkan tahun 2002 lalu. Dalam siaran pers-nya, Departemen Kominfo berargumen bahwa penundaan pelaksanaan SSB ini dikarenakan karena kurangnya waktu bagi stasiun swasta untuk mempersiapkan diri untuk bekerjasama dengan TV lokal yang ada didaerah, disamping dikarenakan permasalahan hukum seperti judicial review atas paket Peraturan Pemerintah 49 – 52 tahun 2005 tentang Penyiaran baik di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA).
Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem siaran berjaringan – seperti diamanatkan oleh UU penyiaran – stasiun TV yang saat ini mengudara secara sentral dari Jakarta tidak dapat – tepatnya tidak boleh (lagi) – memancarkan siarannya ke seluruh pelosok negeri melalui stasiun relay-nya yang ada di daerah. Untuk dapat diterima oleh pemirsa di daerah, stasiun TV swasta harus bekerja sama dengan stasiun televisi lokal yang ada di daerah. Ide dasar dari SSB adalah pemerataan kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam bidang penyiaran (pertelevisian). Dengan demikian, disamping pemunculan ide dan budaya lokal yang terkooptasi oleh siaran yang “Jakarta minded”, segala bentuk kreatifitas di daerah yang terkait seperti rumah produksi, biro iklan serta produk lokal yang selama ini terabaikan, dapat turut terbangun.
Kendala dalam SSB
Penundaan pemberlakukan SSB ini oleh pemerintah nampaknya cukup beralasan baik dari sisi yuridis maupun teknis pelaksanaan di lapangan. Adanya “perebutan” kewenangan pemberian ijin bagi sebuah lembaga siaran antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Departemen Komunikasi dan Informasi adalah permasalahn hukum yang memang harus dituntaskan untuk memberikan kepastian hukum bagi lembaga siaran, baru diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Mei tahun 2007. Seperti diketahui bahwa KPI – sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran – adalah lembaga negara yang “diberi” kewenangan dalam hal pemberian ijin sebuah lembaga penyiaran (Pasal 33 ayat 5 UU No 32 tahun 2002). Namun oleh paket PP 49 – 52 tahun 2005 tentang Penyiaran, kewenangan pemberian ijin tersebut justru diberikan kepada Depkominfo. Adanya tumpang tindih kewenangan ini membuat KPI mengajukan judicial review atas paket PP 49 – 52 ini kepada Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya memutuskan bahwa PP Penyiaran tidak melanggar UU No 32 tahun 2002. Artinya kewenangan atas perijinan sebuah lembaga penyiaran kembali dikerkah (dimiliki) oleh pemerintah melalui Depkominfo.
Selain tumpang tindih kewenangan diatas, tentangan atas UU No 32 tahun 2002 dari stasiun TV swasta (nasional) tidak dapat diabaikan begitu saja. Sejak awal RUU ini dibuat, kalangan TV swasta yang merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan dalam UU ini berupaya sedemikian rupa agar undang-undang ini batal dilaksanakan. Ketentuan bahwa mereka (TV swasta) harus melaksanakan kaloborasi siaran dengan TV lokal mendapat tentangan paling keras. Keengganan TV swasta untuk melakukan siaran berjaringan dengan TV lokal tercermin dari pernyataan Asosiasi TV Swasta Nasional saat masih diketuai oleh Karni Ilyas bahwa kerjasama bisnis dengan partner baru yang tidak ditahui reputasinya sangat sulit dilakukan (Koran Tempo, 2002). Bisa jadi pandangan Karni ini benar. Namun ketidaksetujuan televisi swasta ini lebih karena potensi kerugian kapital yang harus mereka tanggung, baik dari sisi investasi maupun keuntungan jangka panjang saat pemberlakuan SSB. Stasiun relay yang telah mereka bangun di berbagai daerah adalah investasi riil yang tidak lagi fungsional saat SSB diberlakukan. Padahal, investasi yang mereka keluarkan untuk membangun stasiun relay di daerah tidaklah sedikit. Untuk membangun 1 stasiun relay diperlukan dana mencapai angka 7 miliar rupiah (Koran Tempo, 2002). Sementara dari sisi ekonomi, keuntungan yang selama ini mereka dapatkan dipastikan menurun sebagai akibat profit sharing dengan TV rekanan. Menyadari potensi kerugian ini, TV swasta nasional lebih berupaya agar SSB ini tidak terlaksana ketimbang melakukan persiapan menjalin kerjasama dengan TV lokal.
Selain dua hal diatas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan TV lokal sendiri, baik dari sisi jumlah, perangkat teknis maupun kesiapan sumber daya manusia yang dimilikinya. Dari sisi jumlah misalnya. Saat ini ada 10 stasiun TV yang mengudara secara sentral dari Jakarta dan ditransmisikan ke berbagai daerah. Dalam skema SSB, 1 stasiun TV nasional melakukan kerjasama dengan 1 stasiun TV lokal. Sebagai konsekuensinya, paling tidak di setiap daerah harus ada 10 stasiun TV lokal sebagai partner TV nasional yang kini ada. Ini akan menjadi persoalan tersendiri disaat tidak semua daerah di Indonesia mempunyai potensi untuk memenuhi kebutuhan 10 stasiun TV lokal tersebut, baik sisi ketersediaan kanal frekuensi seperti yang diatur dalam Kepmenhub No 76/2003 ataupun sumber daya manusia lokal untuk memenuhi standar siaran sedemikian sehingga layak untuk bekerjasama dengan stasiun TV nasional.
Celah dalam UU Penyiaran
Dari segi ketersediaan kanal UHF di daerah Bali misalnya. Sebagaimana terlampir dalam Keputusan Menteri Perhubungan No 76 tahun 2003, Bali mendapatkan 20 jatah kanal frekuensi TV yang terbagi menjadi 2 area; 14 kanal frekuensi untuk Bali Selatan (lebih dikenal dengan area Denpasar) serta 6 kanal untuk Bali utara (area Singaraja). Dari 14 kanal frekuensi yang ada pada area Denpasar, semuanya telah habis digunakan (fully occupied); 10 oleh stasiun TV nasional, 2 frekuensi oleh TVRI dan Bali TV. Sisa 2 frekuensi lainnya (akhirnya) digunakan oleh stasiun TV lokal baru (Bali channel dan A-TV) (Tempo, 2006). Sementara 6 jatah frekuensi Bali Utara “tidak laku” ? karena coverage area-nya hanya melingkup daerah Singaraja yang nota benne bukanlah pasar potensial.
Yogyakarta punya masalah yang cukup unik. Melingkupi wilayah Jogjakarta, Wonosari, Wates, Solo, Sleman, DIY memperoleh 14 “jatah” channel. Karena sepuluh jatah chanel sudah menjadi “hak” stasiun TV (nasional) + TVRI, maka hanya 4 televisi lokal (lagi) yang mungkin ada di DIY. Jika mengacu pada Kepmen Perhubungan No 76/2003, dan karena tidak ada aturan hukum yang mengatur pemutihan ijin frekuensi lokal yang saat ini dimiliki oleh stasiun TV swasta (nasional) pra-SSB, paling tidak akan ada 6 stasiun TV swasta tidak mendapat partner untuk berkolaborasi siar. Dengan demikian, stasiun TV swasta yang saat ini mengudara dari Jakarta – dengan kapasitas kapital, sumber daya manusia dan ijin siar lokal yang masih di tangan seta alasan tidak memperoleh partner – sangat mungkin mendirikan TV lokal sendiri di Yogyakarta pun di daerah lainnya.
Masalah lain yang sangat mungkin muncul di tingkat lokal adalah tidak adanya aturan tentang peran broadcasting and production body. Stasiun TV selama ini diperbolehkan untuk memproduksi siarannya secara mandiri. Ketiadaan regulasi tentang distribusi tugas dan keleplikan saham antara stasiun penyiaran dan rumah produksi dikhawatirkan akan memunculkan pasar yang monopolis. Akibatnya, kesempatan dan kuntungan – dalam arti luas – yang diperoleh stasiun TV lokal tidak dapat didapat oleh gerbong kreatifitas lainnya; seperti biro iklan, sanggar seni dan rumah produksi lokal.
Menyadari bahwa masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh kaum kapitalis dalam UU Penyiaran, peran Komisi Penyiaran Daerah – yang selama ini identik dengan “tukang seleksi proposal” harus lebih fungsional sebagai atisipasi atas pemanfaatan celah perundangan seperti dua hal diatas. Karena jika itu terjadi, maka esensi pemerataan dan demokratisasi bagi daerah yang diusung oleh UU 32 tahun 2002 akan mubazir (tabzir:red) dan layu sebelum berkembang.
Penulis adalah Ketua Asosiasi Rumah Produksi Bali (ARPB), Dosen Kopertis Wilayah VIII, Post Graduate Student, School of Informatics and Engineering, Flinders University, Adelaide – South Australia. Penulis bisa di kontak di kusir_sadwika[at]yahoo[dot]com
New institutionalism, Pak.
Quoted here (in pdf)
Media is there to inform thus persuade. To the extreme, it manipulates.
You could produce just fine, then again they at the station can add sound fx and things are going to have extreme dramaturgy. Not going to say about content here, but more to “manipulating the law” thing.
Complexity of content (to manipulate) and technical expertise (berjaringan with complex frequency allocation?), better be settled with the right law and regulations.
However… the institution to uphold law is still chaotic. Kominfo handling content? See the controversy Youtube. By all means, Fitna is forgotten now. KPID is supposed to synch with otonomi daerah. They (the institution, the law, the people, the way of thinking) are not ready, just yet. I think the disadvantage is still a burden of people who live outside Java Island. Until further notice.
Thank for the enlightening comment, Mba.