Artikel ini telah dipublikasikan di: www.beritaiptek.com
“Jika sampai 1 maret 2008 tidak ada stasiun TV yang membuat sistem berjaringan di beberapa daerah, maka Pemerintah harus dicurigai”. Demikian tegas Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Prof.Moh Nuh dalam Rapat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seluruh Indonesia pertengahan Februari lalu. Pada kesempatan itu, M.Nuh juga “menantang” KPI untuk melakukan gugatan besar-besaran jika pada tanggal tersebut tidak ada stasiun TV swasta melakukan siaran berjaringan. Kini, sudah 2 bulan lebih janji itu berlalu. Sudah adakah televisi swasta – yang lazim disebut sebagai TV nasional –melakukan (usaha kearah) siaran berjaringan (SSB)? Tidak sama sekali. Yang ada justru sebaliknya. TV swasta beramai-ramai melakukan penggabungan kepemilikan (merger) untuk memperkuat basis kapital yang mereka miliki selama ini. Diawali oleh TransCorp hingga terakhir launching TVone yang merupakan gabungan ANTEVE dengan Lativi di Istana Merdeka. Jika tidak ada satu televisi swasta pun tidak melakukan usaha kearah SSB sebagaimana diperintahkan konstitusi, mengapa Depkominfo tidak melakukan tindakan apapun? Tanda Pak Menteri tidak berwibawa ataukah sudah kegagalan pemerintahan (A Government Failure)?
Tanggal 14 April lalu, Depkominfo telah menghentikan siaran televisi berlangganan Astro dengan alasan bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang kepada Depkominfo. Dalam surat peringatan Depkominfo disebutkan bahwa pihak Astro tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya satelit selama 2 tahun sebesar 274 milyar rupiah. Benarkah alasannya sesederhana itu? Andaikan alasannya benar (bahwa penghentian itu “hanya” karena ketidakdisiplinan pihak Astro untuk memeuhi kewajibannya), maka kita patut mempertanyakan mengapa Depkominfo tidak mengambil tindakan serupa kepada stasiun TV yang tidak mau melakukan SSB? Jika pada kasus Astro penghentian siaran diakibatkan “hanya” karena permasalahan hutang-piutang, maka ketidakmauan stasiun swasta untuk melakukan siaran berjaringan (SSB) adalah alasan yang jauh lebih kuat karena itu jelas-jelas merupakan pengingkaran atas konstitusi (UU 32 th 2002 dan PP 50 th 2005).
Sebagaimana telah ditetapkan pada pada pasal 60 UU Penyiaran dan Pasal 70 Peraturan Pemerintah No 50 th 2005, bahwa SSB merupakan kewajiban – bukan pilihan- bagi stasiun TV swasta. “Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat tanggal 28 Desember 2007, kecuali pemilik modal daerah belum mampu mendirikan stasiun penyiaran lokal atau ada alasan khusus yang ditetapkan oleh Menteri atau Pemerintah Daerah setempat.” Sangat jelas disebutkan bahwa SSB harus dimulai 28 Desember 2007. Namun dengan alasan ketidaksiapan teknis dan permasalahan hukum, Depkominfo akhirnya menunda batas akhir pelaksanaan SSB hingga 2 tahun, dari yang seharusnya 28 Desember 2007 menjadi 28 Desember 2009. Dalam siaran pers-nya ketika itu, Departemen Kominfo berargumen bahwa penundaan pelaksanaan SSB ini dikarenakan karena kurangnya waktu bagi stasiun swasta untuk mempersiapkan diri untuk bekerjasama dengan TV lokal yang ada didaerah, disamping dikarenakan permasalahan hukum seperti judicial review atas paket Peraturan Pemerintah 49 – 52 tahun 2005 tentang Penyiaran baik di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA).
Penentangan (terhadap) SSB
Sebagaimana diketahui bahwa SSB, sejak kelahirannya, mendapat tentangan yang luar biasa mulai dari sisi perebutan kewenangan antara KPI dan Depkominfo, pergulatan kepentingan TV swasta hingga ketidaksiapan istrument lokal (selengkapnya baca: Jalan terjal Menuju Sistem Siaran Berjaringan).
Sebagaimana diketahui bahwa kepentingan bisnis telah membuat TV swasta berupaya sedemikian rupa agar SSB tidak diberlakukan. Dari sudut pandang mereka, lahirnya UU Penyiaran ini akan berakibat langsung pada pengurangan kue keuntungan yang mereka dapatkan selama ini. Sebagaimana dilansir oleh lembaga riset AC Nielson, iklan TV menyedot 68% dari total pasar iklan sepanjang tahun 2005 dengan bruto pemasukan iklan per stasiun TV melebihi angka 1 triliun rupiah. Dengan pemasukkan yang menggiurkan ini, masuk akal jika mereka (TV swasta) melakukan segala upaya agar UU ini batal dilaksanakan. Dengan demikian mereka tidak perlu membagi kue yang telah mereka dapatkan dengan TV lokal rekanan yang mereka ajak berjejaring.
Selain dari sisi pembagian keuntungan, potensi kerugian TV swasta lainnya jika SSB diberlakukan adalah kerugian investasi riil. Stasiun pemancar yang telah mereka bangun di berbagai daerah adalah investasi riil yang tidak lagi fungsional saat SSB diberlakukan. Padahal, investasi yang mereka keluarkan untuk membangun stasiun relay di daerah tidaklah sedikit. Untuk membangun 1 stasiun relay diperlukan dana mencapai angka 7 miliar rupiah. Menyadari potensi kerugian ini, TV swasta lebih berupaya agar SSB ini batal dilaksanakan sambil melakukan penguatan basis sisi kapital dengan melakukan merger.
Pertaruhan Kehormatan Konstitusi
Jika pada siaran pers Depkominfo tentang penundaan pelaksanaan SSB kita dapat menerima alasan kurangnya waktu bagi stasiun swasta untuk melaksanakan kerjasama dengan TV lokal, maka sekarang telah terbukti bahwa alasan tersebut tidak benar sama sekali. Alih-alih melakukan kerjasama dengan TV lokal,TV swasta justru melakukan sentralisasi kepemilikan tanpa dibarengi usaha untuk melakukan kerjasama jaringan dnegan TV lokal yang sudah ada di daerah. Dengan kenyataan ini Depkominfo – sebagai lembaga tertinggi yang (sekarang) berwenang di bidang penyiaran – seharusnya sadar bahwa ini adalah pertaruhan konstitusi negara – perundangan yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat serta ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah. Oleh karenanya tidak ada lagi alasan untuk menunda (proses kearah) SSB, apalagi berdiam diri. Pilihannya sudah sangat jelas; menjalankan apa yang telah ditetapkan perundangan atau tunduk pada hegemoni kapitalis. Jika dengan kenyataan inipun Depkominfo tidak melakukan tindakan apapun sesuai janji yang telah dikeluarkan Pak Menteri, maka saatnya untuk mempertanyakan apakah Depkominfo masih diperlukan (lagi) atau tidak.
Penulis adalah Ketua Asosiasi Rumah Produksi Bali (ARPB), Post Graduate Student, School of Informatics and Engineering, Flinders University, Adelaide – South Australia.
Leave a Reply