Adelaide ( Nov 2008).
Pro kontra pengesahan UU Pornografi tidak saja terjadi di tanah air. Suara serupa juga bergema dari Adelaide, South Australia. Dalam Seminar yang bertajuk “Scaling the Civil Aspect of the Pornography Act in Indonesia” yang diadakan oleh Masyarakat Islam Indonesia Australia Selatan (MIIAS) bulan November lalu, tiga dari empat pembicara menyatakan pertidaksetujuannya pada pesahanan dan pemberlakuan Undang-undang Pornografi di Indonesia. Sebagai pembicara Dr. Budianto, seorang budayawan yang tinggal dan bekerja sebagai pengajar college di Austaralia, Adrian sekaligus, Neng Viena, seorang aktifis perempuan di Jakarta dan tengah menyelesaikan study Master of Women Studies di Flinders University, sedangkan keynote speaker I Wayan Sadwika Salain, mantan ketua Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Gadjah Mada yang saat ini juga tengah menyelesaikan study-nya pada di Flinders University, Adelaide. Yang bertindak sebagai Moderator adalah Khoirul Umam, seorang wartawan harian Jawapos yang saat ini memperdalam study International Relation pada Universitas yang sama.
Budianto mengupas Undang-Undang Pornogrfi dari kajian budaya. Menurutnya, Pornografi adalah domain moral dan bukan domain hokum. Hal ini didasarkan pada kajian bahwa “porno” adalah produk fikiran sehingga sangat relative dalam pemaknaan dan penerapannya. Undang-undang, dilain sisi adalah hokum positif yang tidak boleh multi-interpretasi. Oleh karenanya, penerapan undang-undang pornografi tidak bisa diformalisasi melalui hokum positif.
Berbeda dengan Budianto, Adrian yang merupakan alumni STPN dan saat ini menjadi pejabat structural di Pemda Gorontalo menyatakan persetujuannya dengan pemberlakukan UU Pornografi ini. Alasannya, pornografi adalah salah satu biang kerok dari dekadensi moral yang terjadi di tanah air dan menyebabkan keterpurukan di berbagai sector. “Sayangnya, Indonesia – sejak berdirinya Negara ini – tidak pernah secara tegas menolak atau menerima pornografi. Keberadaan undang-undang positif saat ini hanya lip service semata, dan tidak memberikan efek jera. Oleh karenanya, UU Pornografi yang dengan tegas memberikan sangsi dan hukuman bagi pada pelakunya diharapkan bisa member efek jera pada setiap orang sebelum melakukan tindakan pornografi sebagimana dimaksudkan pada undang-undang tersebut”, tandasnya.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Neng Vien yang mengupas UU ini dari kajian perempuan dan hukum. Dalam pandanganya, UU Pornografi hanya menempatkan perempuan sebagai objek dan dengan demiakn sebagai kata benda. Dari kacamata perempuan, undang-undang ini sangat merugikan. Adari aspek hokum, pengesahan undang-undang ini tidak memiliki urgensi samasekali. Karena, setidaknya ada 9 produk perundangan yang sudah mengatur tentang pronografi dan pornoaksi. KUHAP pasal 282, UU Telematika, UU Perlindungan anak, UU Penyiaran adalah contoh bahwa alasan ketiadaan produk hokum sebagai dasar pokok pengesahan UU ini tidak berdasar. Jika tidak ada pelaksanaan dan penindakan tegas tentang aksi pornografi di atanah air selama ini, lebih dikarena karena law enforecement kita yang masih lemah. Karenanya, penegakan hokum perlu ditingkatkan, bukannya membuat undang-undang baru, apalagi memicu kontroversi seperti ini, papar Nieng Vien – yang sering member advokasi jika ada perempuan yang mengalami kesewenangan.
Sadwika Salain menyoroti pengesahan UU dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, memahami UUP ini tidak bisa dari inteks – apa yang tersurat isi perundangannya semata, namun harus dilihat dari preteks dan konteksnya.Pengusung UU ini adalah partai yang sama dengan yang mengusulkan adanya perubahan pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, dan juga Pancasila. Pasca Pemilu 1999, PBB dan PKS adalah partai yang paling gencar menyuarakan adanya perubahan pada 2 hal tersebut. Tahun 2004, PBB tetap bersikeras untuk kembali pada Piagam Jakarta dengan penambahan kalimat “dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” pada butir Pertama Pancasila maupun Pasal 29 ayat 1 UUD 45. Secara politis mereka gagal menggalang kekuatan untuk mengamandemen dan juga menjalankan syariat Islam karena mendapat tentangan keras dari kalangan nasionalis. Oleh karenanya, mereka “merubah gaya dan cara” untuk tetap memperjuangkan formalisasi nilai syariah dalam hokum negara. “Ini adalah starting point dan test case bagi mereka untuk formalisasi syariah Islam ke dalam hokum Negara. Gejalanya sangat jelas. Mereka menggunakan momentum pemilu 2009 agar partai politik tidak mempunyai pilihan lain, skecuali menerima, untuk menarik simpati pada pemilih Islam”, tandas akademisi dan juga Ketua Asosiasi Rumah Produksi Bali ini. Sadwika juga menyoroti tentang pentingnya pluralisme dan penghargaan terhadap minoritas serta pentingnya mempertahankan Pancasila. Pendekatan demokrasi tidak seluruhnya bisa menyelasaikan permasalah kebhinekaan dalam konteks Negara bangsa. Yugoslasvia telah membuktikan bahwa ketika mayoritas memaksakan kehendakanya atas nama demokrasi. Ketika ideologi komunis jatuh oleh prinsip Glasnot dan Perestroika, Yugoslavia pun pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Dan ini bisa terjadi di Indonesia ketika mayoritas memaksakan kehendaknya untuk mengganti ideologi Negara.
Keempat pembicara sepakat bahwa harus ada penghargaan terhadap pluralisme dan entitas local dan mempertahankan NKRI sebagai bentuk final Negara Indonesia. Seminar ini ditutup dengan pemberiaan piagam pada masing pembicara dan kemudian dilanjutkan dengan barbeque.
Leave a Reply