Oleh: Degung Santikarma
Ada dua tragedi sarat makna yang menyentuh ingatan kolektif di Bali
pada bulan ini. Yang pertama, Puputan Badung, terjadi seabad yang lalu
ketika raja Badung dan pengikutnya gugur di medan perang menghadapi bala
tentara Belanda. Yang kedua terjadi 41 tahun yang lalu ketika orang-orang
Bali yang dicap “komunis” terbantai oleh sesamanya dengan dukungan militer,
melahirkan lebih dari tiga dasawarsa penyempitan hak sipil.
Peristiwa yang pertama dirayakan bulan ini dengan meriah sebagai
kejadian yang membuktikan manusia Bali heroik dan nasionalis, siap mati demi
kejayaan negara. Peristiwa yang kedua tak mendapat tempat pada benak publik
Bali, padahal kejadian tersebut juga menghasilkan manusia Bali yang gagah
dan berani, termasuk ribuan tukang jagal yang berperan sebagai eksekutor.
Korban puputan beberapa ratus orang, khususnya para bangsawan dan
pengiringnya, sedangkan korban kekerasan 1965 mencapai ratusan ribu,
termasuk para pentolan partai maupun rakyat biasa. Yang pertama gugur karena
tak mau tunduk pada jajahan asing, sedangkan yang kedua mati sengsara di
tangan bangsa sendiri atas nama “pembersihan” dan “pembelaan” negara.
Menurut Walter Benjamin, ingatan selalu menjadi medan kepentingan
kekuasaan yang diawasi dan digunakan oleh kaum elite. Jadi, tak heran
melihat peringatan seabad Puputan Badung melibatkan puluhan pendeta, ratusan
pejabat, serta lusinan seniman, sastrawan dan wartawan.
Tak ketinggalan pula, para akademisi, pengkritik, dan budayawan sibuk
memeriksa naskah, menerbitkan buku, dan mengadakan seminar dan sarasehan
tentang peristiwa itu. Semua aktivitas intelektual ini menghasilkan cukup
banyak “pembelajaran” bagi warga Bali, yang diwanti-wanti agar berani
berkorban, menjaga tradisi, menghormati leluhur dan pemimpin, serta
meneruskan “semangat puputan” untuk kemajuan negara. Namun, kesibukan para
budayawan elite justru belum menciptakan ruang untuk pertanyaan yang lebih
reflektif yang mampu mewakili kerumitan kelampauan dan hubungan kita dengan
sejarah.
Bagaimana pilihan antara peristiwa mana yang akan diingat dan yang
mana harus dilupakan menjadi sebuah pertaruhan politik dari rezim kekinian?
Bayangan-bayangan apa yang ingin ditanamkan oleh suatu perayaan? Jenis
subyektivitas manusia apa yang ingin diciptakan lewat suatu peringatan?
Kenapa para pemimpin di Bali begitu mudah melupakan pembantaian saat
“Gestok” yang justru belum berumur seabad dan masih mempunyai korban yang
hidup di komunitas-komunitas kita?
Kenapa orang Bali sangat begitu mudah tunduk pada garis komando 1965
untuk menghabisi kawan dan sanak famili mereka? Kalau saat puputan musuh
orang Bali adalah penjajah, lalu siapa musuh orang Bali waktu 1965?
Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut tentu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Saya hanya salah seorang dari sekian orang Bali
yang dibesarkan di tengah pergunjingan orang-orang tua di desa, yang membawa
perhatian saya kepada sebuah genealogi kekerasan yang beda jauh dengan apa
yang dirayakandan apa yang didiamkan bulan ini.
Menurut para senior saya di desa, buku-buku bisa dicekal atau
dilarang, tetapi ingatan tidak bisa dihapus. Mereka tentu sadar bahwa narasi
puputan yang diangkat oleh Orde Baru dan orde berikutnya mempunyai tujuan
politis, yaitu menggali heroisme lokal yang layak dipakai untuk kepentingan
nation-building.
Mereka wajar mati
Peringatan puputan Badung menawarkan suatu “bayangan wilayah datar”
yang disebut Badung dengan sistem kekomradan meminjam istilah Ben Anderson,
di mana suara pengkritik, budayawan, pengusaha, seniman, pendemo, calo, dan
makelar bersatu kompak dalam pekik: “Bela Bali”. Akan tetapi, di balik
peringatan, ada ingatan yang tak bisa dipaksa, yang memang tidak diinginkan
tetapi diwarisi oleh sejarah buruk kepada ribuan survivor 1965.
Kalau kita mencoba memilah apa yang disebut “musuh” dan siapa yang
disebut “pahlawan” dalam peristiwa 1965, kita memasuki ranah yang serba abu-
abu, di mana bisikan-bisikan para orang tua memberi rambu-rambu kewaspadaan.
Ucapan yang sering terdengar dari kaum terdidik tentang pembantaian massal
1965 di Bali adalah: “Mereka wajar mati karena mereka komunis”.
Namun, di Bali sering menjadi sulit untuk menarik garis demarkasi
antara siapa sebenarnya pelaku dan siapa korban ketika seseorang diminta
mati oleh warga atau keluarga mereka sendiri karena dituduh komunis. Sejarah
puputan sarat dengan makna “harga diri dan ketertundukan”, atau lebih baik
mati daripada tunduk pada kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Kematian
karena tak mau tunduk pada penguasa atau penjajah dianggap suatu yang
terhormat, dan mereka yang melakukan ini mendapat atribut pahlawan.
Namun, bagaimana dengan mereka yang diminta mati oleh warga, bahkan
oleh keluarga mereka sendiri, karena dituduh komunis? Apakah mereka yang
tewas terbantai saat 1965 tak dianggap membela “tanah Bali”? Bukankah mereka
yang terbantai menolak gagasan awal kapitalisme agar tanah leluhur tak
dicaplok investor asing, seperti industri pariwisata yang membuahkan
kemakmuran bagi beberapa orang, tetapi menciptakan manusia Bali yang tak
bertanah?
Pernyataan tentang “kewajaran” pembantaian 1965 tak jauh beda dengan
retorika Presiden Bush ketika berhadapan dengan isu terorisme dengan
penyederhanaan belah dua: “Bila Anda setuju, Anda ada pada pihak kami, bila
tidak, Anda ada di pihak teroris”. Dalam konteks 1965, jika seseorang berani
menentang pembantaian, mereka sendirilah yang dianggap komunis, menurut
logika yang sudah lama dipakai oleh para diktator di dunia yang mendukung
aksi preemptive strike demi mengabdi pada kepentingan negara adidaya.
Retorika terorisme dan komunisme sering dipakai mereka yang berkuasa,
baik di Indonesia maupun di Amerika, untuk menyebarkan rasa takut, yang
membuat warganya tunduk dan takut, lalu dengan sukarela mengor- bankan
kebebasan hak sipil mereka kepada negara. Dengan alasan negara dalam
“kondisi siaga satu”, warga negara yang baik harus menyerahkan privacy
mereka untuk diawasi supaya “musuh dalam selimut” bisa dikeluarkan. Tujuan
lain penciptaan musuh eksternal yang monolitik seperti komunis dan teroris
yang merupakan bagian strategi dari penyebaran teror itu sendiri, untuk
menciptakan kegusaran dan rasa waswas sehingga citra “figur negara
kebapakan”, pelindung bagi warga yang tak berdaya dan lemah akan terbentuk.
Namun geneologi kekerasan 1965 di Bali, kalau dilihat dengan teliti
seperti dalam buku sejarawan Geoffrey Robinson yang berjudul The Dark Side
of Paradise, memang menggarisbawahi hubungan antara struktur sosial yang
melahirkan puputan dan kondisi-kondisi tertentu menyediakan ruang untuk
memicu terjadinya pembantaian 1965. Kedua peristiwa tersebut dipicu bukan
hanya oleh elite militer, tetapi oleh perselisihan internal di Bali yang
menyangkut masalah tanah, kasta, keluarga, banjar, pura dan puri yang
dimobilisasi oleh partai pada waktu itu.
Seperti peristiwa puputan, rezim bekas negara terjajah memberikan
pembelajaran tentang tragedi berdarah, kudeta, amuk masa, dan kerusuhan yang
selalu mengkambinghitamkan suatu yang asing, yaitu para komunis yang
dikatakan mengancam tradisi, agama, tatanan, maupun peradaban di Bali. Lalu,
kepada siapa kesalahan harus ditimpakan? Kepada “manusia merah” (sebutan
untuk orang PKI di Bali) dengan ide landreform yang menuntut pemerataan
kepemilikan tanah atau para calo lokal yang menjual ribuan hektar tanah
leluhur kepada investor asing yang sering menggembar-gemborkan ajaran
nasionalisme Bung Karno yang antifeodalisme, kolonialisme, dan imperialisme.
Biarkan mayat itu
Tragedi 1965 menciptakan manusia Bali yang sangat jauh dari gambaran
manusia Bali damai, seniman, penurut, ramah, dan mudah senyum seperti yang
ada pada brosur-brosur pariwisata yang sekarang dipakai untuk menarik
wisatawan asing, termasuk Belandadan turis-turis dari puluhan negara
lainuntuk datang ke Bali. Namun, sejarah “Gestok” yang mengakui bahwa
manusia Bali juga pembantai, haus darah, dan tukang jagal tak boleh diungkit
karena dianggap beresiko merusak aliran diplomasi dollar dalam industri
kepariwisataan.
“Biarkan saja mayat mereka terkubur menjadi tumbal gemerlap bangunan
hotel bintang di Bali,” ujar salah seorang keluarga korban 1965 yang bekerja
di hotel. Ini mungkin yang paling ironis: bulan ini, mengingatkan kita pada
mereka yang dibunuh oleh orang-orang Belanda sambil mendiamkan ingatan kita
tentang mereka yang dibunuh oleh bangsa sendiri. Di Bali, kita menjadi diam
demi penjagaan “citra Bali”, untuk menarik orang-orang asing sebagai saksi
atas kejayaan kebudayaan kita. Kita merayakan nasionalisme kita, untuk
melupakan makna pembebasan untuk tak tunduk, dan kesetiaan pada yang benar
bukan hanya pada bangsa tetapi pada manusia itu sendiri. Namun, di balik
hiruk-piruk perayaan, kita masih bisa mendengar kisah-kisah lainkalau saja
kita berani diam sejenak untuk menyimaknya.
Oleh: Degung Santikarma Pengamat Budaya dari Bali
Sumber: KOMPAS – Minggu, 01 Oktober 2006
[…] Bulan Ingatan dan Pelupaan di Bali – Degung Santikarma […]