Minggu lalu, saya dan anggota banjar lainnya ‘tedun’ untuk melaksanakan tradisi ‘ngurug’ – upacara pitra yadnya yang dilakukan setelah upacara penguburan. Meski ‘ngurug’ dilakukan oleh beberapa keluarga yang sanak-saudaranya telah dikubur namun belum mendapat prosesi tirta griya, upacara ini juga diramaikan oleh warga lain yang masih punya sawa (red-mayat) di setra dengan memunjung – menghidangkan sesaji berupa makanan dan minuman kepada arwah sawa yang dikubur.
Dari sekian warga, perhatian saya tertegun pada seorang wanita yang dengan khidmat menghaturkan sesaji pada mertuanya yang telah meninggal dan dikubur tahun lalu. Meski tergolong sawa lama, wanita tadi tetap saja setia memunjung-kan mertuanya. Kedua tangannya sibuk untuk menyiapkan sesaji. Punggung tangan kirinya ditutup dengan dauh dapdap sementara tangah kanannya sibuk menghidangkan beberapa ragam kue, apel dan aneka buah enak lainnya. Gumam saya, betapa baik-hatinya si menantu ini yang demikian peduli dengan sang mertua. Hingga rasanya tidak ada waktu luang bagi mulut sang mertua untuk mengunyah makanannya, demikian fikir saya. Jika anda menjadi saya, anda pastilah terkesan pada pemndangan ini. Andai saya tidak mengenal wanita ini, maka saya akan berdoa semoga saja kelak saya mendapatkan menantu seperti dia.
Namun sayangnya, saya kenal baik dengan si menantu dan mertua yang telah meninggal yang pada akhirnya menyurutkan rasa simpati saya kepadanya. “Ketakjuban” pemandangan tadi hanya diterima oleh mata saya saja. Otak apalagi hati tidak sampai ‘terbuai’ oleh tingkah polahnya itu. Hubungan mertua-menantu ketika mertuanya masih hidup sangat bertolak belakang dari apa yang dilakukannya hari itu. Tentu anda bisa tebak sendiri bagaimana hubungan si menantu tadi dengan mertuanya yang akhirnya menjadi alasan bagi otak dan hati ini tidak tertipu. Iya..hubungan yang sangat tidak harmonis. Bahkan dalam berbagai kesempatan, si menantu dengan berbagai ekspresi kebenciannya berupaya agar si mertua untuk ‘enyah’ dan pergi jauh dari kehidupannya. Hhhh…. ironi dan sangat naif. Sang mertua yang sudah dengan susah melahirkan dan membesarkan anak yang kemudian menjadi suami dari si wanita tadi harus ‘terleminasi’ terlebih dahulu. Mungkin ‘kepergian’ sang mertua bisa jadi merupakan ajal dan takdir yang dibawanya sejak sebelum keberadaannya di dunia ini. Namun, mengingat riak-riuh hubungan meraka dengan si menantu, sulit rasanya untuk tidak mengaitkan ‘kepergiaannya’ dengan tingkah-polah si wanita ini.
Ini adalah ilustrasi dari sekian banyak kisah yang terjadi di keluarga (tradisional) di Bali. Sanak keluarga dengan biaya yang tidak sedikit memberikan persembahan kepada arwah yang ada di dunia ‘lain’ dengan sangat taat dan berbhakti. Mereka berfikir dengan sesajen – atau apapun namanya – yang mereka haturkan bisa membantu sang arwah untuk hidup lebih sejahtera di alam sana. Mereka berharap bahwa persembahan yang diberikan bisa menukar rasa sakit hati sang arwah karena saat hidupnya tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Barangkali ada banyak alasan lain seseorang melakukan persembahan dengan segala ‘vested interest’-nya. Ini terjadi di berbagai macam latar belakang keluarga dan terjadi dalam rentang waktu generatif – dari generasi bahula hingga jaman neo-ICT , dari ujung Bali barat hingga Sukasada – bahkan menyeberang hingga Merauke.
Lantas, karena ini terjadi di seantero Bali dan segenap lapisan masyrakat dan kita bisa membenarkan kejadian semacam ini sebagai sebuah ‘kelaziman’? Jawabannya barangkali sama dengan pertanyaan berikut. Karena hal ini terjadi secara generatif dan massif lantas kita buru2 mengatakan bahwa ini adalah representasi dari sifat manusia Bali? Tentu tidak! Secara gamblang, sebagian besar dari anda yang membaca kisah ini akan berfikir dan seraya berharap bahwa hal ini tidak akan terjadi pada diri kita. Jika mendengar, melihat dan mengetahui kisah serupa, pengharapan seragam pastilah akan timbul dalam benak kita, “andai kebaikan dan kepedulian itu diberikan secara tulus pada saat mereka masih hidup, alangkah sangat bahagianya”. Jika kebaikan itu diberikan sejak awal, bisa jadi (dalam kisah ini) sang mertua belum harus berada di liang kubur dan dapat melalui senang-susahnya hari bersama-sama. Bukankah akan lebih mudah? Hhhmmmm…. may be yes, may be not!
Leave a Reply