Saya dibesarkan dalam lingkungan persaudaraan umat beragama yang soleh. Ketika S1 di UGM, saya mendapatkan ‘sambutan’ yang sangat hangat dari saudara di Jogja yang sebagian besar Muslim. Di Fakultas Teknik, saya berkawan sangat akrab dengan banyak kawan nasrani. Demikian juga kitika saya melanjutkan perjalanan studi saya ke negeri Sakura. Meski secara de facto mereka tidak beragama, keramahan dan kerelaan menolong orang Jepang membuat saya terkesima. Pengalaman yang hampir sama saya dapatkan ketika melanjutkan Master di Adelaide dan doktor di Perth, Australia. Perlakuan dan sopan santun sungguh patut saya apresiasi. Singkat kata, tidak ada satu pengalaman pun yang patut membuat saya membedakan orang berdasarkan agama (atau bahkan ketidakberagamaannya).
Dan ketika mendengar tanah kelahiran saya menjadi lahan subur konversi agama (Hindu – Kristen) pun tidak mencederai rasa toleran dan hormat saya kepada rekan Kristiani terlebih kepada nabi besar saya (juga), Yesus Kristus. Saya percaya, sebagaimana yang diajarkan oleh nabi-nabi besar lainnya bahwa ajaran cinta kasih yang disemai oleh Yesus bukan semata untuk pemeluk Kristiani semata, melainkan untuk seluruh umat manusia. Toleransi ini sudah diamalkan oleh tokoh besar Hindu; Gandhi yang besar dan matang dalam lingkungan Kristiani, pun pengamal ajarannya sekaligus tauladan wanita Bali – Ibu Gedong Bagus Oka.
Yang saya sesalkan adalah, proses dibalik konversi agama tersebut. Tentu, dalam setiap konversi, selalu ada push factor (dengan menjadi umat Hindu Bali), dan tentu pull factor (dari kaum misionaris).
Push factor adalah hal yang mendorong umat Hindu ‘escape’ dari Hindum, tentu oleh berbagai cerita ‘tidak menarik’; himpitan ekonomi, adat yang ‘mangan ketengah’, ritual yang jor-joran, pemerintah yang apatis, kasta yang menindas dipadu dengan ketiadaan penanaman filosofis tentang agamanya.
Himpitan Ekonomi? Dibalik pesona Bali sebagai surga dunia, tidak semua bahkan lebih banyak orang Bali yang duduk sebagai penonton dari arena yang bernama pariwisata. Cerita suram pariwisata ini telah disuarakan oleh berbagai penulis Geofrey Robinson Cano (The Darkside of Paradise, Henk Schulte (Benteng Terbuka), Putu Setia (Menggugat Bali) maupun Sukma Arida (Pandora Bali).
Adat? Rasanya tidak perlu saya perpanjang lagi. Banyaknya kasus merebut setra dan kesepekan merupakan penjelasan yang lebih dari cukup untuk menggambarkan kondiri riil kita.
Pemerintah yang apatis? Hmm..demokrasi seolah menjadi pembenar atas tampilnya berbagai kalangan bebal untuk menjadi peminpin. Maka, janganlah berharap banyak pada mereka. Dan jangan pula salahkan mereka jika tidak mungkin secara intelegensi dan kepedulian tidak mampu menangkap nyanyian si pici-pici (metafor masyarakat kecil dalam wayang cengblonk).
Kontribusi ritual yang jorjoran? Kita perlu belajar dari sejarah masa suram Hindu baik di India maupun Bali di jaman dinasti Ashoka Ratna Bumi Banten karena 2 hal; upakara dan kasta. Tren itu berlanjut dan bahkan semakin memburuk dengan adanya tayangan “Nangun Yadnya” di TV lokal. Setiap desa seakan berlomba utuk beradu gengsi untuk membangun pura. Semakin banyak jumlah biaya yang dihabiskan seakan menunjukkan semakin tingginya derajat hidup dari warga desa tersebut. Benarkah??
Kasta? Sekali lagi, India sudah mengalami masa suram dan menjadi ‘korban’ sistem masyarakat berkelas ini. Di Bali? Terlepas dari berbagai hal yang dilakukan Arya Weda untuk Hindu, yang notabene harus saya apresiasi, saya sangat sayangkan ketika ia membangkitkan sentimen kasta ini. Tentu ia punya penjelasan tersendiri, namun, ditengah perlunya kebersamaan dalam menghadapi common enemy ini, pemunculan sentimen kasta dalam masyarakat egaliter adalah set-back dan kontra-produktif.
Kurangnya Pemahaman Kehinduan?
Jangankan mereka yang illiterate, seberapa banyak diantara pembaca yang setiap hari nongkrong di depan facebook bisa menjelaskan saripati kemuliaan, rasa tolong-menolong dan cinta kasih yang diajarkan lewat adat, banten dan pelajaran agama di sekolah? Masih beruntung kita punya cerita Karma Pala yang masih membuat kita bangga sebagai orang Hindu Bali.
Pulling Factor
Dalam segala cerita ‘hebat’ diatas, masyarakat outlier – yang tidak bisa atau tepatnya tidak tahan – untuk beradaptasi dengan segala kondisi tersebut, mendambakan solusi. Keberadaan pulling factor seolah-olah menjadi pahlawan. Dengan sumber daya baik manusia maupun keuangan yang mumpuni, para misionaris ini (seollah-olah) menawarkan solusi jitu.
Terus, dimana salahnya?
Salahnya ada pada pemaknaan ‘toleransi’ itu sendiri dalam konteks negara bangsa (Pancasila). Jika para misionaris ingin betul-betul membantu atas dasar toleransi beragama, mereka tidak datang dari ‘pintu belakang’. Mereka akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan PHDI. Jika dengan segala kebaikan dan ketauladan mereka, masyarakat kita tadi pada akhirnya dengan penuh kesadaran dan fikiran yang rasional mengkonversi agamanya, saya tidak bisa berkomentar apapun, selain ‘terimakasih’. Namun ketika ini tidak dilakukan, ini sama saja dengan menyelingkuhi istri tetangga karena tahu hubungan rumah tangga mereka sedang tidak akur.
Inilah proses yang saya sesalkan tadi. Solusinya? Harus ada pembicaraan di tingkat pemerintah, PHDI dan Majelis Umat untuk menjaga kerukunan umat beragama. Jika para misionaris ini datang dan perwakilan umat mereka (berpura-pura) tidak tahu menahu, (pencarian solusi) rasanya bukan tanggung jawab pemerintah daerah lagi melainkan detasemen 88
Leave a Reply