Intellectual Bullying yang diterima dari seseorang yang secara kualifikasi akademis lebih rendah, bisa dengan mudah direspon dengan menunjukkan superioritas akademik si penderita. Saran yang sama pula saya terima dari berbagai kawan ketika di-bully oleh Arya Weda (kronologi dan transkrip lengkapnya tersaji pada link berikut: Kronologi).
Sebagaimana diketahui bahwa Arya Weda menamatkan S1 Ekonomi Manajemen dari Universitas Trisakti, S2 dan S3 bidang Ilmu Pemerintahan dari sebuah Universitas Swasta di Jakarta dengan akreditasi ‘C’, Universitas Satyagama. Sejak awal, Universitas ini berafiliasi dengan Mahendradatta – universitas milik Arya Weda. Maka, tidak heran jika banyak orang menyebut jika gelar yang diperolehnya sebagai gelar settingan untuk mendapatkan rekor MURI sebagai doktor termuda.
Dengan pendekatan yang sama, saya yang ‘beruntung’ telah menamatkan (dan sedang mengenyam) pendidikan dari berbagai institusi dengan kualifikasi nomor wahid [UGM – Nagoya (Japan, S1), Flinders University (Australia, S2) dan ISML Group of UWA (Perth, S3) – grup Brain Biomechanics yang berafiliasi dengan Harvard University] akan dengan mudah terpancing untuk menggunakan superioritas institusi sebagai revenge tool of the bullying.
Namun saya sadar, sebagaimana yang dituahkan dalam budaya Bali dan juga terpatri menjadi jargon UWA – Seeking Wisdom, bahwa akhir dari pendidikan adalah karakter. Menonjolkan diri dengan tujuan mempermalukan seseorang bukanlah sifat seseorang pembelajar sejati. Menyerah pada ego juga bukan merupakan jalan yang menerangi. Oleh karenanya, saya tidak menuruti saran rekan-rekan untuk menjawab tantangan Arya Weda dengan menunjukkan kualifikasi akademis sebagai dasar respon. Ada waktu dimana kita perlu berargumentasi ilmiah untuk kepentingan bersama yang lebih besar – dan disitulah kualitas dan kualifikasi akademik itu diperlukan!
Secara personal, saya tidak mempermasalahkan bullying tersebut. Yang saya sayangkan adalah bagaimana aspirasi tersebut dikelola ketika dia (benar-benar) menjadi DPD dan menyandang predikat wakil Bali. Hal personal semacam itu bahkan tidak ada artinya ketika kita dihadapkan pada common enemy yang lebih besar; perjuangan para misionaris untuk meruntuhkan Bali sebagai benteng terahir Hindu Nusantara, gerakan para fundamentalis untuk menjadikan Indonesia sebagai khalifah – negara agama, ritual Bali yang kian menghimpit, legalisasi premanisme atas nama demokrasi, ketiadaan transparansi pengelolaan lembaga umat dsb.
Terlepas dari pelbagai kontroversi tentangnya, kita perlu ‘pendekar mabuk’ spt AW untuk menantang gerak langkah kaum Hambali dan Ikhwatul Muslimin yang bertranformasi dalam bentuk ormas dan partai radikal yang berusaha masuk melalui lembaga negara. Orang-orang yang sama pula telah menebar jaring ekonomi syariah dan ‘membiayai’ para ‘penyerbu’ Bali untuk menguasai sektor riil hingga pelosok desa. Gerakan itu memang sangat rapi dan cair sehingga tidak mudah dideteksi. AW dalam bbrp hal sudah bisa mencium gerakan tersebut dan mempunyai keberanian mengangkatnya ke permukaan menjadi discource publik. Ini tentu kita harus apresiasi.
Namun demikian, gerakan perlawanan ini tidak akan pernah berhasil ketika tidak didukung dengan kemampuan advokasi argumentatif di ranah legislasi melalui instrumentasi lembaga politik di Senayan; DPD maupun DPR RI. Demikian beratnya tantangan sebagai kaum minoritas, tidak salah jika semua dari kita berharap mempunyai wakil rakyat yang mempunyai wawasan, kematangan, kecerdasan dan kecerdikan dalam menyuarakan kepentingan bersama ini, bukan hanya menjadi benteng bagi partai atau golongannya. Karakter yang kuat dan dilengkapi dengan kemampuan diplomasi mumpuni merupakan senjata yang jauh melampaui elektabilitas dan popularitas pada saat pemilu. Dari semua calon yang bertarung pada pemilu lalu, yang memenuhi semua kriteria diatas tidaklah banyak. Dari yang tidak banyak tersebut, nama AW moncer sebagai harapan pengecualian dari hasil politik uang dan ancaman preman. Harapan besar ada di pundaknya.
Harapan yang cenderung emosional tidak bisa dipungkiri adalah buah dari ‘keberhasilan’nya untuk mempublikasikan dirinya di harian lokal Bali yang sudah barang tentu tidak gratis. Konon, budget iklan diri yang dikeluarkan setiap bulannya mencapai puluhan juta rupiah. Tentu banyak orang bertanya dari mana uangnya? Tentu bukan dari kantongnya secara pribadi melainkan kecerdasannya untuk memperoleh dana dari lembaga donor – dalam maupun luar negeri. ( Jangan lupa juga bahwa beasiswa S1 dari dibiayai dari punia umat selalu ke Universitas Mahendradatta. Mengapa?)
Dengan ‘pengalaman’ ini (baca: tanggapan AW thd status FB saya yg ‘terlalu bijaksana’ tanggal 16 Arpil 2014), ketika kritik dianggap sebagai ancaman, aspirasi adalah angin lalu, maka harapan besar rakyat Bali (paling tidak para pemilihnya) bisa jadi seperti menaruh kapur barus di pinggir pantai, menguap baunya pun tidak lagi tercium. Semoga saja kekhawatiran saya ini tidak terbukti. Astungkara!
Perth, Easter Day, 2014
Leave a Reply