Isu agama yang digunakanan sebagai dasar meraih kemenangan oleh kedua kubu (Pilpres) patut disesalkan. Ada 3 dasar sudut pandang mengapa legitimasi dasar agama tidak benar dan harus ditolak dalam berbagai isu yang menyangkut pengelolaan negara – temasuk pilpres kali ini*.
Dari perspektif konstitusi, jelas. Bahwa setiap warga bangsa sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1). Sehingga isu calon presiden tidak beragama Islam atau keturunan Kristen tidak layak dipilih, sangat tidak relevan.
Dari sudut pandang historis, founding fathers kita yang dipelopori Bung Karno bersepakat untuk membentuk sebuah negara bangsa yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia ini berdasar atas kesamaan rumpun, budaya dan adat Istiadat – bukan agama. Kita bukan Pakistan (dan India) yang sejarah berdirinya didasarkan perbedaan agama para penduduknya (Hindu dengan Islam). Pun bukan Singapura yang dibentuk berdasarkan perbedaan etnis warganya (China dan Melayu). Dari sudut pandang historis, isu perbedaan agama dalam politik jelas bukan sesuatu yang ingin diwariskan oleh leluhur kita.
Dari sudut pandang HAM dan demokrasi, sebagaimana halnya ras, isu agama ini jelas merupakan diskriminasi dan oleh karenanya layak disebut pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pesan yang ditangkap dari isu tersebut adalah “warga bangsa selain mayoritas mainstream tidak dibenarkan untuk memimpin bangsa ini”. Kaidah demokrasi yang digunakan untuk justifikasi klaim isu agama ini justru bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri – yang siapapun dia, dengan suara terbanyak berhak dan layak untuk mempimpin bangsa ini. Jika kemudian mereka yang beragama Islam mendapat dukungan mainstream karena mereka adalah elemen mayoritas, adalah hal yang wajar dan oleh karenanya tidak perlu dibenturkan dengan prinsip-prinsip dasar bernegara.
Inilah sebabnya mengapa kita, komponen bangsa yang bukan hanya ‘kebetulan’ non-Islam, melainkan juga elemen mayoritas, patut menolak segala pembenaran atas dasar agama ini untuk dijadikan rujukan dalam menata bangsa yang heterogen. Karena, prinsip dasar dari proses politik itu bukan hanya memilih pemimpin negara melainkan juga mewariskan budaya yang luhur untuk anak-cucu kita.
(*Claim serupa juga terjadi pada pilpres 1999 ketika AM Syaifuddin menolak Megawati yang ‘difitnah’ sbg capres Hindu. Ketika itu, saya (yang ketika itu masih ‘ngayah’ sebagai ketua KMHD UGM) dan berbagai aktifis Hindu di Yogyakarta melakukan perlawanan, mulai dari soft diplomacy hingga turun ke jalan)
Leave a Reply