Mangku Pastika dan Sudikerta menganjurkan pada warganya agar memilih capres dengan rasional, bukan emosional. Sungguh saya tidak faham apa yang dimaksud dengan ‘rasio’ dalam hal ini. Paling tidak, ada tiga common sense saya yang tidak nyambung dengan rasio ala Pastika-Sudikertha.
Pertama, mereka berdua adalah pemimpin formal Bali yang mayoritas penduduknya Hindu. Mereka bukan hanya sebagai pemimpin daerah yang harus memajukan daerahnya, namun juga harus melindungi ideologi warganya terhadap segala upaya dari kelompok yang tidak menginginkan Indonesia menjadi ‘rumah’ bagi orang Hindu, pluralisme Indonesia dan sekaligus Pancasila sebagai ideologi negara. Prabowo mungkin tidak menginginkan pergantian asas negara ini, namun ia tidak bisa menjadi seorang yang ‘suci dalam debu’. Ingat, kepentingan pragmatisnya untuk bisa menjadi presiden tidak mungkin bisa ‘menang’ atas kepentingan ideologis para pendukungnya yang didominasi oleh Islam garis keras. Mereka dengan lantang menyerukan penentangan atas sekularisme, plularisme dan juga Pancasila. Target kelompok ini jelas; memperbanyak Perda dengan Syariah yang pada akhirnya berujung pada pergantian ideologi negara. (Baca: Fatwa haram bagi Umat Islam untuk memilih paket 1, 10 ‘syarat’ dukungan FPI pada Prabowo dll).
Kedua, latar belakang Mangku Pastika adalah prajurit dengan pedoman Sapta Marga (Ia dibesarkan pada era dimana ABRI dan Polri masih berada dalam satu payung). Ia seharusnya menjadi garda terdepan yang menolak dengan tegas segala upaya yang mengganti ideologi Negara. Ia seharusnya menjadi garda terdepan yang menolak segala upayang untuk mengganti Pancasila.
Ketiga, partai pengusung dalam PilGub tidak mempunyai calon. Jika dorongan untuk memilih paket pertama ini karena latar belakang ‘balas jasa’ kepada partai pengusung – Demokrat dan Golkar – yang mereka sebut sebagai rasio, pembenarannya sangat sangat lemah. Ini dikarenakan oleh, pertama kedua partai pengusung paket Mangku-Sudikerta tidak mengusung calonnya sendiri. Meski Ical mengistruksikan seluruh jajaran partai untuk mendukung paket PraHara ini, toh pada kenyataannya banyak dari struktur partainya tidak mematuhi pilihan instruksi partai yang didasari atas transaksi politik ketua umum mereka. Ical juga telah menyatakan bahwa partainya tidak akan menjatuhkan sanksi pemecatan kepada mereka yang mbalelo. Selain karena sadar posisi dia yang tidak kuat, Golkar juga memainkan politik dua kaki, sama seperti pada pilpres 2014. Dengan dukungan tersebar di kedua kubu, maka siapapun yang keluar sebagai pemenang, kader Golkar tetap akan menikmati hasilnya. Kedua, keterikatan mereka pada Demokrat – partai utama yang mengusung mereka – lebih tidak relevan lagi. SBY sudah menyatakan bahwa partainya akan menjadi oposisi dan dengan demikian membebaskan kader partainya untuk memilih.
Jika tidak satupun common sense membenarkan pilihannya, lalu rasio yang seperti apa dimaksudkan oleh Pastika -Sudikerta ini? Kecuali rasio saya tidak dapat menjangkau cara berfikir mereka yang ‘hebat’, (rasio lainnya) Tak ada. Sungguh tak ada! Atau, apakah yang dimaksud rasio adalah transaksional? Walahhuallam!
Leave a Reply