Rasanya, tidak ada yang menyangkal jika ke 3 orang besar diatas adalah “mahluk langka” yang pernah diciptakan Tuhan untuk membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan atas kemanusiaan. Persamaan mendasar aterletak pada filosofi perjuangan mereka: Ahimsa – perjuangan tanpa kekerasan.
Perbedaan yang kental terletak pada pelibatan diri mereka atas kekuasaan politik praktis. Jika Gandhi memilih untuk tidak terlibat sama sekali dalamhiruk pikuk kekuasan India awal, Mandela memilih untuk menjadi “pengantar demokrasi” anti-apatheid dengan menjadi presiden dalam satu periode saja. Sedangkan Bung Karno memilih untuk “mengikuti arus kehendak rakyatnya” yang sesungguhnya tidak ia setujui, termasuk ketika dikukuhkan sebagai presiden seumur hidup.
Perbedaan “keputusan” ini pada akhirnya menentukan momentum akhir ketiga orang besar tersebut. Gandhi – yang meninggal ditengah terjangan peluru panas militan Hindu, Nathuram Godse, pergi dengan linangan air mata seluruh rakyat India, bahkan dunia. Mandella diantarkan dengan keih-klasan dan doa selluruh warganya, karena usianya yang memang sudah udzur. Sementara rakyat Indonesia tidak bisa menunjukkan empati yang mendalam atas kepergian Bapak Bangsanya, Bung Karno, karena tekanan rezim penguasa ketika itu. Ya, Bung Karno wafat dalam suasana yang tidak selayaknya diberikan kepada seorang pendiri Bangsa. Pangdam Silingawangi ketika itu (1970) HR Darsono , melarang warga Jawa tengah utk mengunjungi pemakaman Bung Karno, tentu atas perintah sang jenderal besar Pak Harto.
Namun rakyat pada akhirnya percaya akan jasa-jasa mereka dan merindukan kehadiran sosok “pejuang kontemporer” seperti mereka – meski kadang dianggap orang sinting dijaman hedonis ini.
Mari tunjukkan bahwa “Sinting itu akan manis pada saatnya” dengan cara Loe! Alay dikit, nda apa2. … masalah buat Loe
Leave a Reply