By: Sadwika Salain – Pengamat Politik Abal-abal
Pada tulisan saya terdahulu (Belajar dari PKS), saya telah menceritakan kekaguman saya pada strategi ‘ganyang’ ala PKS, yang ingin ‘berpartisipasi’ dan selalu ‘mewarnai’ setiap organisasi, tak terkecuali domain akademis; penguasaan masjid kampus, perebutan jabatan akademik, hingga ‘menggarap; ikatan pelajar di seluruh dunia.
Kekaguman saya semakin meningkat ketika menyaksikan sendiri kehebatan strategi yang mereka terapkan dalam perebutan presiden AIPPSA 2015 di Perth, tempat dimana saya mengenyam ilmu.
Pada mulanya, sebagaimana pandangan kawan-kawan lain, saya menganggap organisasi pelajar seperti AIPPSA, PPI dan sejenisnya adalah ajang pembelajaran diri tentang organisasi, komunikasi serta basis kepemimpinan. Sebagai ajang pembelajaran, ia tidak memainkan peran strategis, melainkan ‘hanya’ dalam rangka aktualisasi diri serta pemenuhan ‘hasrat’ romantisme nasionalis. ‘Pelajaran’ yang diberikan oleh kader PKS telah membukakan mata dan wawasan saya bahwa pandangan yang selama ini saya amini ternyata salah.
Organisasi akademis di luar negeri, terlebih pada domain post-graduate, justru merupakan organisasi strategis, gerbang lapang lintas sektoral untuk dapat membuka jejaring yang lebih luas tanpa batas. Ibaratnya, ia seperti jalan tol networking tanpa hambatan ‘beban’ ras, agama, daerah asal maupun organisasi ideologis bahkan partai afiliasi.
Selain jejaring yang luas, tujuan yang tidak kalah strategisnya adalah penguasaan opini. Seseorang yang memegang tampuk pimpinan organisasi mahasiswa sangat dimaklumkan untuk ‘menguasai’ panggung opini, baik milis, kehumasan atau media terkait lainnya. Dengan demikian, kepentingan yang melekat pada opini tersebut, semakin mudah disemaikan kepada semua anggota yang bukan hanya calon-calon pemimpin negeri 270juta jiwa itu, namun juga para pejabat negeri yang merupakan alumni organisasi yang tengah dan sedang ‘berkuasa’.
Posisi organisasi cendekiawan yang strategis ini telah disadari oleh PKS bahkan sebelum partai tersebut didirikan. Tidak lama berselang setelah dideklarasikan sebagai partai, strategi utama PKS adalah menggarap kader cendikiawan di luar negeri. Untuk menjalankan visi tersebut, strategi utama yang dijalankan adalah menguasai organisasi cendikiawan ini dengan mengirimkan kadernya pada setiap perhelatan pergantian kepemimpinan. Sebagai sebuah agenda politik, strategi ini dijalankan dengan terstruktur, sistematis dan – yang tidak kalah pentinganya – senyap, sehingga kepentingan utamanya tidak gampang dibaca bukan hanya oleh kalangan awam, namun juga bahkan oleh lawan.
Selama 10 tahun ini lebih, strategi untuk menguasai organisasi pelajar di LN terbukti sangat sukses – jauh lebih berhasil dibandingkan dengan penguasaan organisasi kampus dalam negeri. Jika di dalam negeri, pergerakan mereka mendapat ‘perlawanan’ sengit dari organisasi kader ormas besar (NU dan Muhamaddiyah) yang memang secara historis sudah ada dan relatif sold, namun tidak demikian dengan organisasi pelajar di LN. Jaringan organisasi kader NU dan Muhammadiyah yang terbangun pada kalangan pelajar di luar negeri tidak sekuat organisasi kadernya di tanah air. Hal inilah yang membuat penetrasi sayap PKS lebih gampang. Alhasil, hegemoni kader PKS pada organisasi pelajar di LN telah merambah di hampir seluruh dunia.
Bagaimana dengan AIPPSA?
Sebagaimana diketahui bahwa, kaderisasi partai dilakukan melalui pengajian liqo, outbond ataupun kegiatan lainnya. Kader-kader yang mereka persiapkan sebagai nakhoda organisasi biasanya disiapkan melalui ajang tersbut. Dalam pemilu AIPPSA kali ini, dari ketiga calon presiden (Ella Prihatini, Faris Alfadhat, Tio Novita Efriani) tidak ada satupun calon yang maju berasal hasil binaan liqo. Namun demikian, pada think tankers PKS tidak kehilangan akal. Mereka ‘memprospek’ para kandidat dengan advokasi visi misi sesuai dengan agenda mereka – tentu dengan cara yang sangat elegan dan subtle. Kandidat yang yang mempunyai misi atau mau menjalankan agenda seperti yang mereka kehendaki akan mendapat dukungan penuh, tentu dengan massanya yang solid plus strategi opini yang jitu.
Strategi mereka sesungguhnya disadari oleh kader NU dan Muhamaddiyah di Perth. Kalangan NU misalnya memberikan dukungan pada calon non-unggulan, Ella Prihatini, yang sesungguhnya tidak mempunyai hierarki organisatoris dengan NU. Calon lainnya, Faris Alfadat, merupakan Ketua Bidang Dakwah Muhamaddiyah WA, yang – jika mengacu pada ‘yurisprudensi’ berdasarkan hubungan antar organisasi induk di tanah air, berada dalam kubu yang bersebrangan dengan PKS. Namun demikia, dalam pemilu kali ini dukungan kader PKS ditengarai diberikan pada kandidat ini, tentu dengan berbagai tawar-menawarnya.
Calon yang ketiga, Atio Novita, didukung oleh kalangan pluralis dan mereka yang kecewa dengan kepemimpinan pengurus AIPPSA sebelumnya, yang lebih lebih mengakomodir kepentingan kalangan Islam ekslusif (istilah ini lebih ‘pas’ saya gunakan daripada terminologi ‘fundamentalis’). Selama ini, kelompok ini sesungguhnya memiliki ‘pendukung’ paling banyak; bukan hanya dari kalangan non-muslim, melainkan (justru) dari kalangan muslim progresif. Kepentingan mereka adalah untuk menjaga dan membawa AIPPSA tetap menjadi organisasi akademis para putri-putri Indonesia yang heterogen. Mereka tidak ingin AIPPSA dijadikan ajang politis terlebih lagi dengan menautkannya dengan agama dan keimanan. Namun karena arah perjuangan yang tidak jelas dan tidak ada basis ideologi, bond antar pendukung pun sangat lemah.
Terlepas dari plus dan minus para pendukung, iklim demokrasi di kalangan pelajar pasca sarjana di Australia Barat menghangat namun tetap kondusif. Tim sukses masing-masing kandidat telah menyiapkan strategi ‘marketing’; poster, video serta, yang tidak kalah seru opini, terutama di milis AIPPSA dan medsos. Strategi penggalangan massa pun dilakukan dan semakin menambah khasanah demokrasi di tingkat mahasiswa, tidak kalah seru dibandingkan dengan pemilihan presiden RI tahun lalu. Sayang, jangkauan lembaga survey tidak mencapai Perth sehingga prediksi hasil survey-nya tidak diketahui ;). Namun demikian, persaingan ini diyakini sangat ketat. Saking ketatnya, setiap tim sukses mengeluarkan strategi pamungkas.
Sebagaimana strategi ‘pamungkas’ yang biasa dipergunakan PKS dalam Pilpres 2004/2009, sentimen agamapun dimunculkan. Sebagaimana diketahui bahwa, Tio adalah satu-satunya calon non-muslim. Dengan bahasa ‘utk mempersatukan umat’, kelompok PKS juga melakukan ‘lobby’ terhadap lawan (yang tidak) abadi mereka – pendukung NU. Kabar terakhir menyebutkan bahwa, kubu NU akhirnya melunak dengan menarik kandidatnya dari bursa pencalonan atau setidaknya tetap menjadikannya sebagai calon underdog. Jika betul terjadi, pembatan kandidasi tersebut merupakan bentuk kekalahan politis sekaligus afirmasi lemahnya koordinasi diantara pendukung NU di Perth.
Terlepas dari siapapun yang menang dalam pemilu kali ini, PKS merupakan pihak pertama yang patut diberikan ‘selamat’; karena: Pertama, soliditas team mereka tidak diragukan lagi dalam penguasaan opini maupun kamuflase kepentingan kepada mahasiswa yang apolitis. Kepentingan mereka ‘nyaris tak terdengar’ oleh kalangan awam. Kedua, ia telah memenangkan pertarungan politis atas kader Muhamaddiyah, dan bisa jadi dengan NU, yang – sekali lagi merupakan ‘lawan’ politik mereka di tanah air. Ketiga, kemenangan atas pendukung pluralis yang memang ‘lesu darah’ karena tiadanya kesamaan persepsi dalam memperjuangkan kepentingan yang sejatinya mulia. Nasib kalangan pluralis sesungguhnya sama seperti kader Muhammadiyah dan NU yang tetap underdog meski mayoritas secara jumlah, namun kurang mampu membaca arah ‘permainan’ yang selama ini (masih) dimainkan oleh (segelintir orang) PKS. Skor 3:0 untuk PKS.
All in all, karena kepiawan kader PKS yang meski minim secara jumlah namun ‘menguasai panggung’ AIPPSA in row, tidak berlebihan jika saya propose bahwa kita perlu berguru pada PKS, agar semakin cerdas, tangkas dan trengginas dalam berpolitik (aka demokrasi).
Benar atau tidak analisa saya tidaklah penting. Namanya saja analisa abal-abal!
Selamat memilih AIPPSA!
Leave a Reply