Hari ini, masa depan Bangli untuk 5 tahun ke depan ditentukan. Hari ini, semua harapan akan Bangli yang lebih baik, kita tumpukan. Ketika bicara ‘masa depan’, bukan para orang tua atau generasi yang seusia dengan para kandidat yang saat ini tengah bersaing sebagai ‘manggala’ kabupaten ini yang lebih faham. Adalah anak-anak dan para pemuda yang sesungguhnya paling tahu apa yang mereka butuhkan kedepan. Iya, harapan atas terciptanya minimal fondasi masa depan yang lebih baik, kini kita tabuh bersama, dengan genderang yang bernama DEMOKRASI.
Iya. Sebagaimana halnya Globalisasi, demokrasi adalah binatang’ absurd lain yang tidak bisa kita cegah. Iya akan bergulir seiring peradaban jaman – minimal ini yang telah kita saksikan sejak Revolusi industri di Eropa. Ia ‘dinobatkan’ sebagai sistem terbaik diatara yang terburuk; aristrokrasi, meritokrasi, oligarki, monarki dsb.
Meski ‘terbaik’, sesungguhnya demokrasi mempunyai ‘lubang’ yang menganga yaitu suara terbanyak belum tentu merupakan yang terbaik. Demokrasi mempunyai prasyarat mendasar, yaitu sistem yang kuat dan pemilih yang cerdas. Ketika sistem pemerintahan lemah – seperti yang kita miliki sekarang – demokrasi bisa jadi membawa kita kedalam jurang masa depan yang berbahaya manakala para voters yang (dengan sengaja) tidak (di)cerdas(kan) dengan money politic serta intimidasi. Zimbabwe adalah contoh negara ‘terbaik’ utk menggambarkan kekhawatiran saya diatas.
Dalam konteks lokal, Bangli masih beruntung karena dijauhkan dari demokrasi intimidatif (dari para preman yang digunakan sebagai alat kekuasaan) terhadap pemilih seperti – Tabanan dan Buleleng, atau politik kasta yang terjadi di Gianyar dan Denpasar. Dalam 2 hal tersebut, warga Bangli relatif lebih ‘maju’ daripada Gianyar, Tabanan, Buleleng atau bahkan Denpasar.
Hambatan terbesar demokrasi di Bangli adalah keterikatan atas faktor ‘kedaerahan’ tepatnya kecamatan. Adagium bahwa seluruh warga kecamatan harus memilih calon dari kecamatan yang sama, masih berlaku, paling tidak, ini yang kita saksikan pada pemilukada 5 tahun yang lalu.
Semangat kedaerahan tentu tidak salah. Namun demikian, jika kita sadar bahwa pilihan kita pagi ini akan membawa arah yang penting bagi perkembangan pembangunan manusia utamanya para pemuda dan anak-anak, maka kualitas, rekam jejak dan komitmen para kandidat yang saat ini berlaga menjadi pertimbangan yang utama, jauh lebih berharga daripada jargon kasta, klan, asal daerah, atau bahkan afiliasi partai politik mereka, bukan?
Sentimen kedaerahan harusnya tidak relevan lagi saat ini. Lihat saja apa yang terjadi pada pembangunan Bangli dalam 5 tahun ke belakang; apakah Bupati terpilih memperjuangkan kepentingan warganya atau lebih memilih diam karena takut masuk penjara? Kl hanya cari aman, buat apa nyalon – begitu kira-kira selentingan yang saya dengar dari warga di warung kopi. Selebihnya, silahkan adik-adik saksikan sendiri. Kita seperti tanpa pemimpin, bukan? Hhhm…nampaknya, keluhan harus saya akhiri sampai disini dan berfokus pada apa yang bisa kita lakukan ke depan.
Anyway, saat ini saya berada di Perth dan tidak bisa menggunakan hak pilih saya sebagai warga Bangli yang baik. Namun demikian, melalui dunia maya ini saya ingin berbuat sesuatu untuk tanah kelahiran saya, dengan menyampaikan apa yang menjadi concern dan pemikiran saya. Bisa jadi rekan-rekan tidak sependapat dengan saya – tentu dengan pertimbangan dan alasan individu masing-masing.
Sebelum saya memberikan pilihan saya, saya ingin mundur satu langkah dengan mendudukkan esensi dari apa yang akan kita, atau tepatnya rekan-rekan pilih pagi ini, dimulai dari potensi kita.
Apa potensi kita? Bangli mempunyai sejarah budaya yang panjang. Kerajaan tertua di Bali, Singamandawa, berpusat di Bangli. Selain itu kita adalah tuan rumah bagi kejayaan Dalem Balingkang (Sukawana), Maya Truna (Demulih), asal muasal Putri Tribhuwana dari Majapahit (Serokadan) dsb. Semua potensi itu merupakan ’emas’ bagi bangkitnya peradaban Bangli baru yang tidak hanya relevan dalam konteks kepariwisataan semata, melainkan juga pendidikan dan kebudayaan, sedemikian sehingga budaya adiluhung tersebut tetap menjadi warisan bagi anak cucu kita kelak.
Selain warisan budaya, kondisi geografis yang sejuk dan ‘sepi’ yang selama ini ditengarai sebagai penghambat pembangunan, bagi saya justru merupakan potensi yang luar biasa. Tentu, bukan untuk hotel atau sarana pariwisata lainnya, melainkan pendidikan.
Mengapa saya menekankan dua hal; budaya dan pendidikan?
Tanpa sadar kita telah mengamini hegemoni kapitalis, bahwa kemajuan sebuah daerah selalu dikaitkan besaran pendapatan asli daerah (PAD). Bangli memang berada pada deretan daerah bawah jika ditilik dari PAD seluruh kabupaten di Bali. Mengingat bahwa tolok ukur (benchmark) kemajuan daerah adalah Human Development Index (HDI) yang mengacu pada standarisasi World Health Organization (WHO) yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahtraan, dimana ketiga paramater HDI diatas merupakan derivasi dari fungsi ekonomi, kita bisa simpulkan bahwa ekonomi merupakan satu-satunya penentu tingkat kemajuan suatu daerah, bangsa atau apapun namanya.
Well, pada titik ini, kita harus berhenti menggerutu dan harus menerima kenyataan ini, karena memang sujatinya demikian adanya. Kapitalis telah menggerogoti urat nadi kehidupan kita saat ini. Sekolah, mencari kerja, jodoh atau menjadi pemimpin seperti yang kita lakoni pagi ini merupakan objek kapitalis.
Ditengah kusutnya kompleksitas realita masyarakat kita, saya tetap optimis akan peran pendidikan sebagai satu-satunya jalan keluar. (Pendidikan tidak sama dengan definisi sekolah atau pengajaran tentunya). Sejarah mencatat, bahwa kemajuan sebuah peradaban tidak ditentukan oleh potensi sumber daya alam melainkan kecemerlangan manusianya. Ini telah dibuktikan oleh Singapura, Hongkong, Jepang atau bahkan Dubai yang (jangan salah) tidak punya banyak kekayaan alam namun mampu berdiri sejajar dengan negara besar dunia lainnya.
Apa relevansi pendidikan dengan pilihan pagi ini? Bukan hal yang rahasia lagi jika jual beli suara dilakukan sejak pemilu langsung digelar th 1999. Praktek ini dianggap wajar bahkan sebuah keharusan, bagi sebagian kalangan. Tentu, setiap orang ingin dan memerlukan uang, bukan?. Namun ketika kita sadar bahwa kepentingan kita terutama akan masa depan anak-anak dan pemuda jauh lebih penting daripada uang saku diberikan, nampaknya kita harus mundur dan kembali kepada ‘kecerdasan’ yang merupakan derivasi pendidikan seperti yang saya sebutkan diatas.
Namun demikian, ketika semua ‘kecerdasan’ digunakan dan rekan-rekan masih tidak ditemukan kandidat yang ‘sempurna’, seringkali ide ‘tidak memilih’ alias golput merupakan muaranya. Namun lagi-lagi kecerdasan yang yg harus dikedepankan karena golput sudah pasti bukan jalan keluarnya. Dihadapan kita saat ini ada dua pilihan; calon 1 atau 2 dan kita tidak mempunyai pilihan ke-3.
Kita semua sudah tahu kinerja yang ditunjukkan incumbent. Pun, kita telah memberikan kesempatan untuk memaparkan konsep pembangunan generasi muda melalui media sosial ini selama 4 bulan terakhir ini. Hasilnya pun tiada. Akhirnya, kita hanya ada satu pilihan yang belum kita beri kesempatan untuk berkarya. Sudah pasti ia tidaklah ideal, namun sudah barang tentu ini adalah pilihan yang lebih baik daripada yang tanpa harapan sama sekali. Barangkali, itu pilihan saya!
Selamat memilih Bangliku! Jayalah masa depan!
Salam dr Perth,
Sadwika Salain
Leave a Reply