Saya bukan pengamat politik. Pun, saya tidak ingin memanaskan suasana menjelang demo yang bertajuk Aksi Umat Islam II karena telah banyak silang pendapat yang berseliweran. Namun karena ‘target utama’ dari aksi ini bukanlah Ahok, melainkan apersepsi atas tumbuh dan berkembangnya faham yang intoleran terhadap keberagaman dimana minoritas menjadi pihak yang paling dirugikan, saya memberanikan diri untuk berkomentar.
Minggu ini, Presiden Jokowi bertandang ke Hambalang untuk menemui ketua umum Partai Gerindra. Meski dalam wawancara seusai pertemuan Presiden tidak mengungkapkan secara gamblang, sebagian besar dari kita pasti bisa menebak bahwa maksud dan tujuan acara yang terkesan mendadak itu terkait dengan demo Aksi Umat Islam (AUI) II yang laksananya digelar tanggal 4 November ini. Isyarat ini semakin benderang dengan undangan Presiden pada organisasi Islam siang kemaren di Istana Negara.
Saking banyaknya opini yang telah dituliskan oleh para pengamat justru pada akhirnya menjadi media promosi ‘gratis’ bagi promotor gerakan ini. Oleh karenanya, tulisan ini tidak membahas aspek keamanan utamanya potensi konflik sebagaimana yang dikhawatirkan banyak orang, melainkan peringatan dini oleh Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) akan tercabiknya rajut kebanggsaan dan kebhinekaan. Catatan pendek ini juga mengetengahkan autokritik atas absensi peran kita – umat Hindu/Bali sebagai elemen minoritas yang seharusnya paling berkepentingan atas terjaganya rajut pluralitas dan kebhinekaan tersebut.
Sebagaimana diketahui ketua umum PBNU KH Said Akhil Siraj adalah yang paling pertama memberi respon rencana gerakan AUI II ini dengan melarang warga Nahdiyin untuk turut serta dalam demonstasi tersebut, sembari menyerukan pentingnya menjaga toleransi antar kelompok dan juga golongan masyarakat.
Bagi sebagian kalangan, himbauan tersebut sangatlah normatif. Namun bagi mereka yang mengamati rekam jejak NU yang ‘hanya’ bertindak jika memang diperlukan oleh negara dalam menjaga bangsa yang pluralis, kekhawatiran akan potensi tercabiknya rajut kebangsaan oleh kelompok yang tidak menginginkan kebhinekaan di Indonesia bukanlah hal yang didramatisir, sebagaimana yang ditengarai oleh Ketua PP Muhamaddiyah, Hajrianto P Thohari.
Untuk menangkap sinyalemen seriusnya ancaman terhadap kebhinekaan tersebut, selain reaksi dari PBNU sebagai organisasi Islam terbesar di tanah Air tersebut, respon ‘siaga I’ dari aparatur negara hingga roadshow Presiden ke Hambalang dan pertemuan dengan organisasi Islam merupakan sebuah referensi yang sahih.
Sekilas tentang motif aksi UAI
Alasan untuk menggagalkan pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI jelas merupakan tujuan ‘pembuka jalan’, mengingat Ahok adalah orang yang paling lantang dalam wacana pembubaran Front Pembela Islam (FPI), pemrakarsa dari gerakan ini. Aksi kali ini adalah yang paling realistis manakala upaya mereka untuk mengusung calon gubernur (pada pilgub DKI) melalui jalur konstitusional (partai) tidak membuahkan hasil.
Ingat, himbauan pada Tabligh akbar di Masjid Istiqlal menjelang pendaftaran calon gubernur DKI sejatinya merupakan strategi untuk meyakinkan partai-partai untuk mengusung calon yang mereka dukung, gagal. Oleh karenanya, tuduhan pelecehan Alqur’an oleh Ahok merupakan kartu as sekaligus ‘jalan terakhir’ untuk menjegal Ahok sebelum pilkada DKI digelah 15 Februari 2017 yang tidak lagi lama. Meski secara substansi aksi kali ini tidak mempunyai tuntutan, karena tuntutan mereka sesungguhnya telah diakomodir oleh pihak kepolisian, mereka akan tetap menggelar aksi pada tanggal 4 November nanti.
Dengan ketiadaan urgensi tuntutan dalam aksi kali ini menguatkan sinyalemen bahwa kasus Ahok hanyalah merupakan sasaran antara untuk kepentingan ideologis yang ‘lebih besar’ dengan agenda awal pengembalian Piagam Jakarta sebagai dasar negara (lih: video Habib Risieq tentang Piagam Jakarta yang menjadi bukti laporan kepolisian pelecehan dasar negara oleh Sukmawati Soekarno Putri. Upaya pelembagaan syariat telah dilakukan melalui jalur konstitusional oleh PKS, PPP, dan PBB pada sidang tahunan MPR tahun 2000 (Ansor M, 2005), dan usulan Piagam Madinah oleh PKS pada sidang tahunan MPR tahun 2002 (Sagaf, 2009).
Kasus Ahok merupakan celah jitu untuk menarik simpati dan dukungan kalangan Islam tradisional dan emosional. Dukungan ini penting untuk melegitimasi kembali agenda ideologis besar yang telah mereka rintis melalui jalur konstitusional sejak awal reformasi hingga masa pemerintahan SBY, yang tiba-tiba kehilangan panggung di era Jokowi.
Early Warning oleh NU
Jika kita amati rekam jejak PBNU sejak awal berdirinya, tidak sekali NU menjadikan dirinya sebagai tameng dari keutuhan NKRI, bahkan sejak Indonesia belum berdiri. Menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, KH Wahid Hasyim dan KH Hasyim Anshari yang tak lain adalah pendiri NU dan ayah Presiden RI ke-4, Abdurahman Wahid adalah tokoh utama dibalik persetujuan penggunaan “Ketuhanan yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila tanpa menyertakan frase ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Ketauladanan NU untuk mengawal NKRI kembali diuji pada era pemilihan Presiden 2014. Kala itu, NU membelah diri menjadi dua kubu untuk menghindari terjadinya gesekan horizontal sebagai akibat dari meningkatnya eskalasi poralitas di kedua kubu yang bertarung kala itu. Tak tanggung-tanggung, ketua PBNU KH Said Akil Siradj sendiri yang ‘turun tangan’ dengan menyatakan dukungannya pada kubu Prabowo-Hatta.
Kali ini, di tengah hiruk pikuk pertarungan kepentingan individu, partai dan golongan yang mengail diatas ‘air keruh’ kasus Ahok atas nama bela agama dan bangsa sebagaimana retorika seorang Amien Rais, para tokoh NU kembali menunjukkan kepahlawanannya dengan tanpa ragu untuk berpihak pada pluralisme dan NKRI, selain tentunya sebagai langkah taktis untuk merespon berkembangnya ideologi Hambali/Salafi atau faham intoleran lainnya. Hal ini sudah sepatutnya mendapat apresiasi sekaligus peran serta pemikiran kebangsaan dari kelompok minoritas yang sesungguhnya menjadi ‘objek penderita’ dari pertarungan antar ideologi tersebut.
Apa peran Hindu/Bali (yang kebetulan) sebagai minoritas?
Jika menyimak situasi kontemporer yang dihadapi umat Hindu/Bali, harapan atas sumbangsih ideologis bisa jadi sebuah uthopia. Disaat negeri ini memerlukan urun pemikiran kebangsaan dari kita yang minoritas sebagaimana dilakukan oleh Mr. Ketut Pudja pada jaman kemerdekaan, kita masih terlena dan berkutat dengan konflik soroh, jabatan dan uang. Tentu, hypotesa ini bukan tanpa dasar. Polemik kontemporer Bali, mulai dari reklamasi Teluk Benoa, konflik ‘soroh’ di Pura Dasar Bhuwana serta rebutan jabatan pada Mahasabha PHDI yang diperparah lagi dengan sengkarut ormas setidaknya bisa menjadi referensi sahih betapa kita kekurangan tokoh visioner yang bisa memetakan eksistensi Hindu Bali satu abad mendatang.
PBNU telah memberikan clue yang berderang betapa pertarungan ideologis itu nyata dan membayakan rajut kebhinekaan bangsa yang kita cita-citakan. Namun demikian, petunjuk dari PBNU ini tidak akan bermakna apapun manakala tidak adanya upaya antisipatif dan strategis untuk merespon gempuran ideologis tersebut dari para tokoh dan akademisi Bali.
Syarat awal yang harus dilalui adalah keberhasilan dalam mengatasi konflik internal, bagaimanapun caranya. Tanpa mengecilkan arti dan kompleksitas permasahan internal Hindu-Bali, upaya penyadaran tentang common enemy ideologis yang secara sistematis berkeinginan merubah Pancasila dan semangat kebhinekaan adalah salah satu cara untuk harus terus dan senantiasa dilakukan segenap krama Bali, utamanya tokoh dan akademisi Bali.
Pilihannya tidaklah banyak. Gagal dalam mengelola konflik internal akan berpengaruh langsung pada absensi peran ideologis kita sebagai elemen bangsa. Jika ini terjadi, kekhawatiran saya bisa jadi relevan, “Masihkan Hindu Bali ada dalam satu abad kedepan?”. Semoga ini hanya igauan saya!
[…] berserikat dan berkumpul. Setelah upaya konstitusional mereka gagal untuk merubah Pancasila (baca: Belajar dari NU) di awal era reformasi, kini mereka kembali ini menunjukkan eksistensinya salah satunya melalui […]
great!