Artikel ini telah dipublikasikan pada harian Bali Post:
http://balipost.com/read/artikel/2017/02/02/72717/radikalisme-dalam-dunia-akademis-sebuah-fenomena-paradoksal.html
Radikalisme dalam dunia pendidikan di Indonesia telah memasuki fase krusial. Hal ini dipertegas oleh pernyataan ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat, setelah bertemu Presiden Joko Widodo akhir tahun lalu. Secara historis, jejak ideologi garis keras ini pada dunia akademis di tanah air telah ada sebelum era reformasi. Laporan Litbang Departemen Agama tahun 1996 mencatat bahwa faham intoleran ini telah ada dan berkembang subur justru di kampus-kampus besar (UI, UGM, UnAir dan UnHas). Hal ini tidak terlepas dari pertarungan ideologi para alumni keempat kampus besar tersebut pada level praktis yang diwariskan kepada junior mereka yang masih ada di kampus.
Setelah era reformasi, gurita gerakan radikal di kampus makin tak terbendung. Hal ini tidak terlepas dari pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal pada era pemerintahan Presiden Habibie – melalui Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang direspon positif oleh organisasi berfaham radikal yang ‘tiarap’ pada era orde baru. Dari analisa penulis, setidaknya ada tiga alasan yang bisa menjelaskan tingginya laju infiltrasi ideologi kanan ini pada dunia akademis.
Pertama, meningkatnya jumlah ormas maupun partai politik dengan ideologi ekslusif pasca indoktrinasi Pancasila berimplikasi langsung pada agresifitas perekrutan anggota baru; salah satunya di kalangan kampus. Hal ini tidak terlepas dari potensi strategis yang dapat diperankan oleh kalangan intelektual dalam masyarakat, sehingga kampus menjadi target utama inseminasi faham kanan tersebut. Penguasaan organisasi dan objek vital (seperti masjid kampus) menjadi target operasinya – seperti yang diungkap dalam buku Ilusi Negara Islam (Wahid, 2009).
Kedua, pemahaman agama yang parsial dan superfisial yang memisahkan peran rasional akademis dan ideologi individu menyebabkan proses akulturasi kedua faham beda kultur ini, dimungkinkan. Secara natural, proses unifikasi faham radikal pada domain akademis merupakan fenomena paradoksal. Budaya totalitarian-sentralistik dan mono-doktrin yang dianut oleh kelompok garis keras – penganut faham radikal ini – secara prinsip berbenturan dengan kelaziman kaidah-kaidah akademis (egaliter, inklusif, rasional, skeptis serta empiris).
Ketiga, metode pengajaran yang tidak memberikan tumbuhnya ruang kreatifitas akademik merangsang kecenderungan tumbuhnya radikalisme sebagai bentuk eskapisme (pelarian) di kalangan mahasiswa.
Disisi lain, keampuhan strategi para agen radikal dalam menangkap ‘peluang’ diatas dengan memberikan ruang ekspresi dan kontemplasi individu hingga relasi sosio-ekonomis dalam bungkus keagamaan menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa atau kalangan yang haus dalam pencarian jati diri (spiritual). Sayangnya, mereka ‘terperangkap’ dalam jalur yang tidak semestinya. Hal lain adalah, kemampuan para agen dalam menyembunyikan agenda ideologis memiliki peran yang krusial untuk menghindari resistensi (penolakan) ideologi kanan ini pada calon ‘korbannya’.
Secara umum, para ‘korban’ ideologi mono-doktrin ini adalah kalangan mahasiswa baru yang berlatar belakang eksakta dan berasal dari sekolah umum (SMU/SMK/STM). Hal ini disebabkan oleh faktor ‘girah’ (semangat untuk mempelajari agama), sehingga siswa golongan ini cenderung lebih mudah didoktrinasi daripada mereka yang lulusan sekolah agama (pesantren) yang sudah terpapar (well-exposed) dengan diskusi agamis (Saefuddin, 2011). Tidak hanya menjangkiti mahasiswa, faham radikal ini juga endemik pada para dosen yang seharusnya menjadi penjaga marwah akademis yang inklusif. Yang lebih mengejutkan lagi, banyak diantara para akademisi tersebut justru pernah mengenyam pendidikan pascasarjana di negara sekuler. Fenomena teralienasi (terasing) pada budaya yang berbeda – seperti yang dikonsepsikan oleh Karl Mark – mempermudah proses radikalisasi pada individu tersebut.
Bagi kalangan nasionalis/pluralis termasuk didalamnya elemen minoritas, radikalisme dalam dunia akademis ini bukan hanya kekalahan politis melainkan prahara ideologis. Penguasaan kampus yang menjadi rahim harapan bagi lahirnya pemimpin-peminpin bangsa oleh kaum radikal, berpengaruh langsung pada berkurangnya kader-kader nasionalis yang militan bukan hanya dari sisi kuantitas, melainkan juga secara kualitas. Padahal, militansi dan kualifikasi ini adalah faktor kunci untuk memenangkan kompetisi ideologis yang kelak kian berat.
Oleh karenanya, upaya strategis, massif dan terpadu harus segera dilakukan, untuk menghentikan atau paling tidak membendung laju peningkatan gurita radikalisme di kalangan generasi kampus. Hal ini bisa dilakukan melalui perjuangan ‘rakyat semesta’; yang bukan hanya dilakukan oleh kalangan pemerintah dan partai politik, melainkan seluruh stakeholders bangsa termasuk didalamnya generasi muda Hindu, yang masih mendambakan tegaknya NKRI yang ber-bhinneka-tunggal-ika ini.
Kesalahan strategi yang kita buat masih lebih baik daripada keengganan kita untuk berbuat. Namun keengganan kita untuk berbuat masih lebih mulia daripada ketidaksadaran kolektif kita (atas marabahaya itu).
Semoga alam memberikan jalan!
Disclaimer:
Radikalisme yang dibahas pada tulisan ini mengacu pada radikalisme Islam; tidak dimaksudkan untuk menyudutkan agama Islam tentunya, melainkan karena faktor kesesuaian dengan konteks kontemporer yang dihadapi bangsa ini. Selain itu, rujukan literatur akademis yang penulis gunakan adalah buku dan karya ilmiah (seperti yg terquote dalam tulisan) membahas tentang hal yang sama i.e radikalisme Islam.
Leave a Reply