
Setelah vakum selama lebih dari satu bulan, akhirnya kita bisa menggelar Webinar Series kembali (Sabtu, 1 Juli 2020), dengan menghadirkan topik ‘Keris” dan narsum Ide Bhawati Mahendrajaya dan Bpk AA Waisnawa Putra.
Tema ini kami pilih diantara pilihan topik yang sedang panas akhir akhir ini, polemik ‘cerita lama bersemi kembali’: Hare Krisna versus Hindu Bali. Tentu, kita semua patut merasa prihatin atas berkembangnya polemik klasik tersebut ditengah pentingnya perjuangan bersama – baik sebagai Bangsa maupun elemen Hindu – dalam mengantisipasi krisis global; baik ekonomi, keamanan (terkait meningkatnya konflik di Laut China Selatan), maupun bidang geopolitik. Harus ada keikhlasan dan pemahaman bersama sebagai sebuah keluarga Hindu dalam mengatasi hal yang tidak esensial tersebut. PHDI, sebagai lembaga tertinggi umat diharapkan peranaktifnya dalam memediasi sekaligus mengakkan disiplin organisasi. Semoga dapat segera diselesaikan ke akar permasalahannya, sehingga tidak akan terjadi lagi di masa datang.
Terlepas dari maraknya permintaan topik ini (polemik Hare Krshna) diangkat dalam diskusi SVC, kami merasa bahwa domain SVC tidak pada wilayah tersebut. Kami tetap harus memfokuskan segala energi dan perhatian pada wilayah pengetahuan Vedanta berikut korelasinya dengan konteks pemahaman kontemporer. Oleh karenanya, kami menghadirkan diskusi “Keris” tersebut dengan berbagai pertimbangan, sebagai berikut.
Sebagai warisan adiluhung budaya Nusantara, Keris merupakan produk dari penerapan teknologi tingkat lanjut (advanced) di masa lalu. Teknologi metalurgi (utamanya metal alloys dan komposit berbahan meteorit) yang digunakan untuk membuat sebuah Keris sungguh maju, jauh melampaui jamannya (jika kita tilik dengan kemajuan teknologi metalurgi modern). Teknologi metalurgi Nusantara – demikian saya menyebutnya – telah berkembang sebelum abad ke delapan, di mana para empu berhasil memadukan berbagai lapisan logam dari ratusan bahkan ribuan lapis bahan yang berbeda, ratusan tahun sebelum berkembangnya teknologi metallurgi (metal alloy) diterapkan di Eropa atau belahan dunia lain. Sebagai informasi, pada masa Majapahit, Jepang baru bisa membuat senjata yang berbasis pada material tunggal saja, bukan alloy (campuran logam).
Ini tentu menarik perhatian kita, pada khususnya para sarjana geologi dan teknik mesin (ilmu logam) yang bersentuhan dengan teknologi metalurgi kontemporer. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana teknologi tingkat lanjut tersebut bisa dimiliki oleh para empu bahkan jauh sebelum teknologi Metallurgy Aloys ditemukan atau dipraktekkan oleh negara negara maju? Siapa sesungguhnya yang mengajari para empu untuk meleburkan berbagai jenis metal dengan titik didih yang sangat tinggi, hingga 10 ribu derajat? Bagaimana mendeteksi keberadaan material meteorite, bahan dasar sebuah Keris, di masa lalu? Ini adalah sekelumit pertanyaan yang bisa kita ajukan dari lusinan pertanyaan yang mungkin muncul. Pertanyaan tersebut pada akhirnya akan membawa kita pada diskursus yang lebih luas.
General Discourse
Diskusi tentang Keris ini dan teknologi metalurgi hanyalah sebagai pembuka awal cakrawala kita – anak muda Indonesia – tentang teknologi modern di masa lampau yang pernah dimiliki oleh leluhur kita. Selanjutnya, diskusi ini juga menjadi inisiasi pengetahuan baru akan keberadaan kekayaan alam Nusantara, selain yang kita ketahui selama ini seperti emas, perak, perunggu dan lain sebagainya. Ada banyak sekali kandungan metal dari gugus tanah jarang (rare earth metals) seperti Monazite, Xenotime, Allanite yg jamak digunakan sebagai materi micro chip dan processor berbagai perangkat modern ataupun dalam bidang lain yang diperlukan di masa datang dalam mendukung Industrialisasi 5.0.
Selain untuk tujuan pengetahuan mineral dan kekayaan alam Nusantara, diskusi “Keris” ini juga sebagai pembuka jalan bagi ‘munculnya’ discourse tentang yang benda-benda bersejarah Nusantara dalam periode 10 tahun belakangan ini. Sebagaimana diketahui, dalam dekade terakhir ini, banyak sekali ‘muncul’ (emerge) benda-benda purbakala berbahan meteorite dari berbagai daerah di Indonesia. Selain dari bahasan kepurbakalaannya (exoteric), bahasan tentang bioenergi (esoteric) benda-benda tersebut patut diberi ruang diskursus yang sepantasnya – utamanya dalam bingkai bahasan sains (elektromagnetic fields), yang selama ini masih dianggap pseudo-science.
Muara dari diskusi series ini diharapkan terbukanya ruang apresiasi akan keagungan warisan Nusantara dan kearifan ketimuran (Eastern Wisdom) yang selama ini terkubur dalam derasnya arus kiblat ilmu pengetahuan yang Western-minded.
Pada sesi selanjutnya, kami akan angkat tema, Atlantis from from the East (karya Prof Aryo Santos) dengan menelusuri jejak Sundalandia bersama (Bpk Dhani Irwanto), dalam kaitannya dengan Human Conciousness Awakening (Brain Plasticity dalam konteks Catur Yuga/Precession of the Equinox (Sadwika). Silahkan ditunggu tanggal tayangnya dan semoga diskusi nanti menarik dan menambah pengetahuan kita semua. Jika ada saran dan masukan terhadap usulan tema diatas, mohon disampaikan via group ataupun japri.
Sebagai penutup, saya ucapkan rasa terimakasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada admin group, moderator dan host diskusi yang telah mempersiapkan dan memandu diskusi Keris dengan sangat baik. Secara pribadi saya memohon maaf kepada rekan-rekan semua karena tidak selalu bisa menemani diskusi group secara intens sebagaimana yang seharusnya. Terimakasih atas permaklumannya.
Rahajeng Purnama.
Sadwika Salain
Leave a Reply